Tahu-tahu saja, air matamu jatuh menetes. Kamu segera memalingkan muka dari ibumu, dengan ujung jari mencoba melenyapkan genangan air yang kini membanjiri sudut matamu.
“Jawaban yang kaucari ada di balik pintu itu.” Kamu merasakan jemari-jemari mungilnya yang keriput menggapai dirimu, lantas menggenggam tangan yang kamu ulurkan.
Namun, sekarang apa pentingnya jawaban ini? pikirmu. Saat aku perlahan-lahan mulai kehilangan orang yang kucintai satu demi satu, apakah jawaban ini akan mampu mengembalikan apa yang hilang? Apakah jawaban ini dapat mengubah masa sekarang?
Kamu merasakan sesuatu ditaruh dalam genggamanmu, dingin. Semacam sepotong besi kecil atau apalah. Ibumu mengepalkan benda itu dalam tanganmu seolah-olah ingin kamu menyimpannya. “Ketahuilah apa yang harus kau ketahui.”
Dan kamu tahu itu bahwa jawaban tidak akan berguna. Sebab, tak lama ia mengembuskan napas terakhirnya.
*
Debu menyeruak begitu kamu membuka pintu itu untuk kali pertamanya semenjak kepergian ayahmu 20 tahun silam.
Kamu tahu, bagaimanapun, seharusnya kamu tidak pernah—memang tidak boleh—menyentuh pintu itu. Itu aturannya. Entah kenapa, memang begitulah aturannya, kata ibumu waktu kamu berusia lima tahun, sebulan setelah ayahmu pergi tanpa kabar. Kenapa? Kamu terus menanyakan hal yang sama hingga tumbuh dewasa. Dan tetap saja, kamu berpikir tidak akan pernah mendapatkan jawaban itu sebelum akhirnya ajal memanggil ibumu seminggu yang lalu.
Ibumu yang mengatakan bahwa jawabannya ada di balik pintu ini. Ialah yang memberikan kunci untuk membuka pintu ini. Kamu semakin bertanya-tanya, jawaban seperti apa yang akan kamu dapatkan.
Tanganmu menelusuri dinding di ruang kerja ayahmu yang sudah tak dibuka selama 20 tahun terakhir. Selama beberapa saat kamu berupaya, tapi tak dapat menemukan yang kamu cari. Di tengah kegelapan, kamu mendekatkan telapak tanganmu ke permukaan dinding dingin dan mulai meraba-raba. Sekitar tiga puluh detik kemudian, barulah kamu merasakan sesuatu. Tombol lampu. Kamu menekannya satu kali, gelap. Mencobanya sekali lagi, masih gelap. Lalu mencoba lagi dan lagi, tapi ternyata masih gelap. Sepertinya memang sudah tidak berfungsi. Memangnya apa lagi yang bisa kamu harapkan dari sesuatu yang sudah berumur 20 tahun lebih?
Kemudian kamu merogoh saku, mengambil ponselmu, dan menyalakan senter. Dan begitulah kamu bisa melihat kondisi ruang kerja ayahmu. Karpet masih bersih, meja, kursi dan buku-buku di rak buku tertata rapi tampak terawat. Kamu mencoba memastikan, benar, bahkan debu pun tak menempel sedikit pun. Kamu merasa tak percaya.
Lalu kamu coba menyalakan lampu di meja kerjanya, dan lampu itu menyala. Aneh, pikirmu, tapi begitulah. Segera kamu memeriksa laci meja, dan kamu menemukan sebuah buku catatan tua.
Perlahan kamu balik sampul buku itu, dan kamu disambut oleh selembar foto yang ditempelkan di halaman awal. Foto seorang pria menggendong seorang bayi dengan istrinya. Pria itu tampak familier, tapi kamu tidak mengenalnya. Pria itu dalam suatu cara mirip dengan dirimu, tapi bedanya ia punya apa yang tidak akan—tidak ingin—kamu miliki. Kumis.
Kamu merenggut paksa foto itu dari buku catatan dan membaliknya. Di bagian belakang foto, kamu menemukan sekumpulan coretan dengan tulisan tangan. Sebuah tanggal yang jaraknya nyaris satu abad dari masamu yang sekarang. Kamu bertanya-tanya, apakah itu pria dalam foto itu kakekmu? Sontak, kamu bergeming begitu melihat coretan di bawahnya dalam huruf sambung: Dahlan, 1923. Kemudian disusul tulisan tangan berbeda: Ayah.
Kamu bingung karena kamu adalah Dahlan. Apa maksudnya, “Ayah”? Apakah Ayah yang menulis ini? gumammu. Apa maksudnya semua ini?
Kamu kembali membalik lembaran buku catatan itu dan menemukan sebuah kalimat yang isinya begini: AWAL ADALAH AKHIR. DAN AKHIR ADALAH AWAL.
Lalu, lampu di meja kerja ayahmu mendadak berkedip-kedip seperti di film-film fiksi ilmiah yang pernah kamu tonton dan kamu mendengar suara tubrukan dari rak buku. Kamu berbalik dan terkesiap melihat sosok di hadapanmu. Kamu menyoroti sosok itu dan mendapati seorang pria yang amat kamu kenal. Ayahmu.
Kamu mendekat ke arah pria itu dan menatap wajahnya tanpa mengatakan apa-apa.
Pria itu kemudian menatap balik wajahmu dan kamu semakin bingung dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Ayah?” []
(01 Juli 2024; 30 menit menjelang tengah malam.)
Hanya sebuah tulisan random untuk memenuhi tugas prompt bulanan dari Black Pandora Club, jangan dibawa serius.
Jadi ini konsepnya time travel?
ردحذفBetul.
حذف