Review ‘Project: INK’ karya Arsyanendra: Penyelidikan Empat Sekawan dari Klub Detektif Sekolah



Ini kali pertamanya saya menantang diri saya untuk keluar dari zona nyaman yang biasanya berkutat di seputaran literatur terjemahan dan mulai mencoba menyicip satu demi satu karya-karya yang dilahirkan oleh penulis lokal. Jujur saja, ini adalah novel kedua dari penulis lokal yang saya baca. Sulit rasanya di awal-awal ketika saya mulai melakukannya, tapi beginilah, kini saya berhasil menantang diri saya dan menyelesaikannya untuk kedua kali.


Sebelumnya, saya berterima kasih kepada penulis yang mulanya memposting tawaran untuk membaca novel ini di X (Twitter) beberapa waktu lalu dan berlanjut ke pesan pribadi Instagram hingga akhirnya novel ini sampai ke tangan saya. Tentu saja, tidak lupa juga kepada Haebara Publisher yang rela mengirimnya ke luar pulau Jawa walaupun awalnya sempat kelupaan, sampai-sampai saya dihubungi langsung oleh penulis sekitar dua pekan setelah konfirmasi alamat, wkwk.


Sekilas tentang buku


Judul: Project: INK

Penulis: Arsyanendra

Tebal: 248 hlm.

Penerbit: Haebara Publisher

Cetakan: Pertama, Maret 2023

ISBN: 978-623-5850-35-4


Hanya butuh satu tetes tinta untuk mencemari satu sumur. Kala hitamnya telah berbaur, apakah kau bisa memurnikannya kembali? Itulah kalimat pertama yang saya temukan di sampul belakang buku ini. Kalimat pertama blurb yang langsung membuat rasa penasaran saya menggema. Tetapi sebelum ini, sebenarnya rasa bimbang ngecantol di batin saya waktu lihat postingan penulis mencari reviewer di salah satu base di X (Twitter), “Apakah saya harus ikut jadi reviewer buku ini?”


Ketika baca blurb, ya, saya penasaran dan ketika saya melihat cuplikan buku ini di GWP dan review online, saya makin penasaran. Namun, sebab rasa was-was nggak bakal bisa selesai baca buku (did not finish) itu muncul. Apalagi nyaris beberapa bulan belakangan sejak Oktober 2023, saya ambil jeda untuk baca buku dan memang kebanyakan pas nyoba baca waktu itu, ujung-ujungnya nggak dilanjut karena macam-macam faktor. Misalnya, seperti waktu baca sendiri memang sudah mulai terbatas. Bisa dilihat sendiri saya yang biasanya ngelarin baca paling lama sepekan malah jadi sebulan pas baca novel Project: INK dari Bang Arsyanendra ini, padahal jumlah halamannya di bawah 300 halaman.


Untuk beberapa kesempatan, sepertinya kita sering lupa memanusiakan manusia. Kita terlalu sibuk menghakimi tanpa melihat kondisi. — hlm. 159


Project: INK berkisah tentang Klub Detektif di SMA Aoyama yang terdiri atas empat orang murid: Itsuki, Eiji, Janice dan Minami. Suatu hari, petaka mendadak terjadi menimpa bunkasai (festival budaya) yang tengah digelar di SMA Aoyama: dua murid terjatuh dari atap. Tiga bulan sebelumnya, di sekolah yang sama, seorang siswa terluka parah karena diserang temannya sendiri.


Dua petaka itu sama-sama memiliki satu kemiripan. Para pelaku tiba-tiba mengamuk tanpa sebab yang jelas. Dan begitulah, akhirnya empat sekawan dari Klub Detektif itu ditugaskan untuk mencari kebenaran dengan menyelidiki misteri yang melingkupi angkatannya.


Yah, kalau dibaca sekilas dari blurb-nya, Project: INK mengandung unsur detektif-detektifan yang mengingatkan saya akan Sherlock Holmes, apalagi pas bab pertama, saya disuguhkan oleh tokoh yang berkostum ala-ala Sherlock dengan memakai topi deerstalker dan lup, meskipun sebenarnya Sherlock sendiri nggak begitu juga sih... Tetapi image-nya cukup kuat ditambah mengambil genre sama. Bedanya ini adalah tokohnya anak-anak sekolahan yang berperan sebagai detektif untuk menyelidiki kasus di sekolahnya yang punya perspektif berbeda atas sebuah masalah.


Alur dan Gaya Bercerita


Novel ini diceritakan dengan alur maju dan memakai sudut pandang campuran. Sebagian besar memang sudut pandang orang pertama yang mendominasi isi novel ini. Sebanyak 24 bab (tidak termasuk prolog dan epilog), hanya dua bab yang dituturkan melalui sudut pandang orang ketiga, di mana saat bab itu banyak tokoh yang terlibat bersamaan dalam satu waktu, jadi saya rasa penulis memilih alternatif memakai sudut pandang campuran agar hasilnya lebih joss.


Sebanyak 22 bab sisanya, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama yang mayoritasnya adalah jatah Itsuki (14 bab); Eiji (2 bab); Janice (5 bab); Minami (1 bab). Saya memang melihat ketidakadilan pembagian jatah sembako narasi, tapi saya juga tidak bilang ini salah. Dari sini saya melihat bahwa memang tujuan penulis sepertinya sengaja menyorot salah satu tokoh terus-menerus karena ini bisa menjadi clue bagi pembaca akan jawaban yang disuguhkan di akhir.


Resiliensi seorang manusia tidak lebih baik dari kawat baja. Jika terlalu kena tempa, ia akan patah juga. Mungkin tidak tampak, tetapi kau bisa periksa dari sorot matanya. Bahwa keinginannya untuk tetap hidup pun tak bisa memenuhi ruang barang sepetak. — hlm. 181


Sepanjang cerita, Project: INK membawa saya dalam lika-liku Klub Detektif Sekolah dengan penyelidikan mereka, selipan kehidupan pribadi masing-masing tokoh, candaan, dan ya... pokoknya dikemas sesuai penokohan anak SMA.


Di awal-awal (orientasi) novel ini, saya kerap kali merasa alurnya agak lambat karena memang tidak bisa dipungkiri saya ikut mengantuk (karena faktor kurang tidur juga sih). Namun, begitu saja menuju konflik (rising action) dari pertengahan menjelang akhir, jedor, saya tiba-tiba semangat merasa tertarik. Apalagi di sana tensinya naik turun dan saya merasa mulai penasaran dengan kelanjutan. Saya menyadari penulis begitu piawai dalam menggambarkan situasi saat konflik itu terjadi—bagaimana perubahan sudut pandang tiba-tiba menjadi pengaruh besar jalannya cerita.


Siang tadi, sejam sebelum ulasan ini mulai ditulis, saya menghubungi penulis dan mengetahui bahwa ia juga melakukan riset mendalam agar salah satunya bisa menciptakan petunjuk-petunjuk untuk diselipkan dalam novel ini dengan didasarkan pada petunjuk nyata. Benar-benar.


Dari segi narasi, saya lumayan suka dengan pilihan kata yang dipilih penulis. Selain perubahan sudut pandang tadi, saya juga rasa bahwa penulis bercerita makin ke ujung, makin berkembang. Begitu banyak kosakata baru yang saya temui dan hal ini juga membuktikan bahwa penulis memiliki pembendaharaan kata yang kaya. Namun, pada beberapa bagian kadang-kadang saya merasa ada penggunaannya yang bisa dibilang pemakaiannya kurang tepat/kurang enak dibaca karena terlalu overused (banjir/berlebihan) dan agak repetitif. Alangkah lebih baik kalau saja penulis bisa menggunakan itu seperlunya.


Di sisi lain, ada juga satu hal lain yang mengganjal bagi saya, yaitu sebutan “Nona” yang dituturkan oleh masing-masing tokoh—termasuk pada bab yang memakai sudut pandang orang ketiga juga. Sependek pengetahuan saya, agak jarang anak muda di Jepang memakai kata ganti “Nona” untuk murid perempuan meskipun ia adalah orang terdekatnya—bukan berarti nggak ada, ya.


Berhubung novel ini sebagian besar dituturkan oleh banyak tokoh sekaligus melalui sudut pandang orang pertama, sepertinya hal ini bisa dimanfaatkan oleh penulis sebagai pembeda (ciri khas) antar tokoh, sementara tokoh yang lain bisa saja pakai kata ganti umum seperti anak/murid/gadis/perempuan/sebut nama tokohnya saja. Karena jikalau tidak ada pembeda (ciri khas) antara satu penutur dengan penutur lainnya, maka pembaca akan kesulitan untuk membedakan dan bisa saja beranggapan bahwa yang sedang bercerita adalah orang yang sama.


Terkadang aku ketakutan dengan isi pikiranku sendiri. Bagaimana ia bisa menjadi begitu pesimis dan putus asa. Hingga kesimpulan-kesimpulan yang biasa kuambil dengan logika kini benar-benar binasa. Instingku melompati alurnya dan meyakini hal terburuk dari opsi yang tersisa. — hlm. 185


Tetapi, sebenarnya saya juga nggak terlalu mempermasalahkan ini, soalnya penulis sendiri sudah membagi setiap bab dengan diawali keterangan nama tokoh akan bercerita. Jadi, sebagai pembaca kamu nggak bakal bingung.


Masukan untuk Pihak Penerbit


Dari segi ejaan, typo-nya sudah sangat terminimalisir, hanya ada beberapa saja; pun dari segi layout sebenarnya sudah sangat rapi. Pemilihan font (tipe huruf) sudah okelah. Juga pemberian pemotongan suku kata (hypenation) sehingga tidak ada celah spasi yang besar antar kata sudah mantap, meskipun ada beberapa yang tidak tepat. Saya bisa memaklumi. Hanya saja, untuk layouter-nya saya ingin memberikan beberapa masukan karena saya melihat adanya kesalahan penomoran: terpisahnya penomoran pada bagian Prolog dan Episode 1 (bab satu) dengan bab-bab setelahnya, yang mana seharusnya menyatu.


Ada juga satu judul bab tidak terformat sebagai heading dan akhirnya tidak masuk ke dalam Daftar Isi (terlewati). Sedikit lagi, dengan penghapusan spasi menjorok pada setiap paragraf pembuka bab, penambahan ukuran huruf kisaran 0.3-0.5 poin, serta pengurangan sedikit saja spasi antar paragraf, sepertinya kualitas layout Haebara bakal menyaingi kualitas layout penerbit-penerbit besar.


Kesimpulan

Terlepas dari semua itu, lebih-kurangnya—sebab memang tidak ada yang bebar-benar sempurna—saya menikmati pengalaman membaca Project: INK. Project: INK layak dibaca, apalagi bagi kamu yang tertarik soal Jejepangan.


Ketika membaca buku ini, mode penulis dan layouter saya ikut aktif bersamaan, jadi maaf apabila ulasan ini jadi kepanjangan. Seiring halaman demi halaman yang saya gulir, banyak pula hal yang saya pelajari. Saat diri sendiri sibuk mencari-cari kesalahan yang ada di dalamnya, saya menyadari banyak hal akan kekurangan diri sendiri dan berakhir dengan belajar membenahi dan menjadikan hal ini sebagai refleksi bagi saya kedepannya.

5 Komentar

Berkomentarlah dengan sopan; ketikanmu adalah bumerang. Jangan lupa, gunakan akun Google untuk berkomentar, jangan sampai ada Anonim di antara kita.

  1. Wow! Sungguh ulasan yang sangat konstruktif dan menginspirasi. Terima kasih atas tulisan yang bermanfaat ini. :)

    BalasHapus
  2. Baru pertama kali baca review yang all rounder! Betul-betul menggali dari segala aspek dan mengungkap baiknya juga apa yang bisa dikembangkan dari bukunya. Terima kasih banyak, keep on writing great review 👍

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama