Cerita Pendek: Cara-cara untuk Mati



Siang itu aku memutuskan untuk mati. Namun, ujung-ujungnya, pada setiap detik terakhir, selalu gagal. Tali yang kugunakan untuk gantung diri di kamar sewaan ini putus karena tidak cukup kuat untuk menahan bobot tubuhku. Sepuluh menit kemudian aku berupaya lagi gantung diri, tetapi lagi-lagi tali yang kugunakan kembali putus. Tidak menyerah begitu saja, aku mencobanya sampai sepuluh kali dan begitulah, hasilnya tetap sama. Dan ketika mencoba lagi, aku nyaris mati, lalu cantelan terlepas dari plafon, mugkin karena juga tak tahan dengan bobot tubuhku.


Cara-cara untuk mati #9, gagal.


Sial, ada apakah gerangan salahku hingga aku sulit sekali untuk mati?



Malam tiba, aku berkeluyur di pusat kota. Pukul 19.30 waktu aku berakhir sebuah daerah pesisir berjarak 30 menit perjalanan kereta dari kamar sewaanku.


Sepanjang perjalanan tanpa tujuan sebelum tiba di tempat ini, aku selalu memikirkan tentang gagasan cara-cara untuk mati. Ketika aku berdiri di peron stasiun misalnya, aku berdiri sedikit melewati garis batas aman dan melihat kereta yang melaju itu semakin mendekat dan mulai menghitung mundur dalam hati, 10, 9, 8… 3, 2…, dan kemudian, aku mencondongkan diriku.


Seketika kurasakan bobot tubuh menarikku dan akhirnya terperosok ke dalam jalur rel kereta. Semuanya terasa begitu cepat, aku melihat kilatan lampu kereta dan lampu-lampu menyilaukan di langit-langit stasiun bawah tanah ini, juga teriakan orang-orang yang kaget bergemuruh, dan kemudian hening sesaat sebelum telingaku berdenging hebat. Harusnya sekarang aku sudah mati.


Apakah aku sudah mati?


Aku membuka mata, membayangkan malaikat maut berdiri di hadapanku, tapi faktanya hanya sekumpulan orang asing yang berada di atas sana, mencicit satu sama lain. Oh, sial, ternyata aku masih hidup. Dan ternyata juga, kereta yang tadi memang berhenti di sini.


Cara-cara mati #10, gagal.


Ternyata, mati dengan cara seperti ini butuh perhitungan yang tepat.



Lima belas menit sudah berlalu, tanpa sadar aku berada di halaman sebuah bar tak bernama. Tidak terlalu yakin karena hanya karena hiasan lampu kedip di fasad bangunan. Mungkin tempat ini bukan bar. Namun begitu aku masuk, aku langsung disergap oleh suara khas bapak-bapak, denting gelas, dan udara kotor yang dijejali asap rokok. Memang bar, bar khusus bapak-bapak.


Aku tidak nyaman berada di tempat seperti ini dan ingin segera pergi, tapi aku dihadang oleh keinginan melakukan apa saja sebelum aku mati. Bagaimanapun, ketika aku dilanda oleh gagasan akan kematian, cara-cara untuk mati lainnya akan segera muncul di benakku.


Aku bisa mati sekarang, di dalam bar ini dengan mengambir botol bir dan memecahkannya dengan kepalaku, lalu menusukkannya ke leher atau bagian vital tubuhku berkali-kali sampai kehabisan stok darah dan tewas, tapi sekarang tidak akan kulakukan. Terlalu ekstrem, semacam psikopat yang hendak menghabisi buruannya. Lagi pula, aku hanya ingin mati dengan cara-cara yang biasa saja.


“Kau ingin sesuatu?” tanya si bartender, pria keturunan Tionghoa yang kelihatannya berusia 30-an, begitu suara derakan terdengar saat aku mengenyakkan tubuh di bangku. Tatapan sinisnya tampak menyelidiku aneh.


Ah, lupakan. Jujur saja, seumur-umur aku tidak pernah pergi ke bar, jadi aku tidak tahu apa yang biasanya mereka berikan selain bir biasa. Aku pura-pura bertanya balik, “Apa yang kau punya?”


“Yah, kami punya—”


“Apa saja,” ucapku sengaja memotong. “Pokoknya yang efeknya paling kuat.”


Beberapa menit kemudian, si bartender menuangkan segelas minuman dengan wadah gelas kecil. Pelit sekali. Langsung saja kutenggak minuman itu sampai habis karena merasa sedikit kesal. “Lagi,” kataku sambil menubrukkan gelas ke meja.


Tak lama ia memberiku lagi, lalu habis lagi dalam sekali teguk, dan kuminta lagi dan lagi hingga kurasakan kesadaranku sendiri mulai terasa mengawang-awang. Aku pasti sudah mabuk. Begitu ketika si bartender lengah, bergegas aku pergi meskipun terhuyung-huyung.



Apa yang terjadi? Apakah aku sudah mati? Kurasakan pening menguasai kepalaku, penglihatanku sakit dan berair. Saat membuka mata, aku sedikit kelilipan karena lampu menyilaukan di atasku. Tanganku—semua bagian tubuhku terasa sakit seolah habis dipukul. Aku nyaris tak ingat apa pun yang terjadi sebelum ini saking mabuknya. Dan sekarang pun masih sulit bagiku untuk mengingat karena efek pengar yang masih terasa begitu kuat.


Kuusahakan tubuhku bangkit, tapi gagal sebab bobotku sendiri. Tanpa berusaha lagi, aku kujatuhkan tubuh dari sandaran dan berbaring di atas lantai beton di sisi jembatan ini. Pasrah. Di bawah cahaya kekuningan lampu jembatan, yang mampu kulakukan hanyalah menatap langit malam nan kosong. Tiada bulan atau pun bintang. Hanya ada kesunyian di pekatnya malam.


Baru saja udara dingin berembus menusuk membuatku bagai sosok menyedihkan sealam semesta. Aku terbayang semuanya. Ingatan-ingatan masa lampau berpendar di benakku. Kegagalan melanda berkali-kali sekeras apa pun aku berusaha. Tiba-tiba saja perasaan menyedihkan itu kembali merundung diriku semakin dalam, lebih dalam daripada keinginan untuk mati.


Akan tetapi, malam ini, aku juga harus berhasil untuk mati.


Kuselipkan pergelangan tangan pada kisi-kisi jembatan yang ukurannya lima kali lebih kecil dari tanganku, lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk bangkit. Bobotku seolah menolak, tapi aku terus melakukan perlawanan. Butuh waktu lima menit sebelum akhirnya aku bisa berdiri tegap dan menatap sungai tenang di bawah sana.


Jika aku ingin mati dengan cara yang seperti kau pikirkan, aku tidak perlu susah-susah memanjat pagar pembatas ini. Lagi pula, aku juga tak akan bisa. Hanya perlu mencondongkan tubuhku ke depan, pasti dengan mudahnya aku jatuh meluncur ke bawah sana. Tidak perlu usaha. Dan aku akan mati tenggelam. Lantas, apalagi yang harus kutunggu?


Ketika hendak mencondongkan tubuku ke depan, baru kusadari sebuah mobil terlihat begitu kencang melaju ke arahku. Lampu depan menyoroti dengan cahaya menyilaukan semakin dekat.


Apakah ini jawabannya? Apakah begini caranya—ia akan menabrakku? Aku tidak peduli, tabrak saja, maka dengan begitu keinginanku terpenuhi. Akan tetapi, mobil itu malah menikung tajam menghindariku dan menabrak pagar pembatas di sisi lain jembatan sampai remuk, sementara kini mobil itu berada dalam posisi kritis. Mobil itu nyaris atau mungkin akan jatuh karena posisinya menyerupai timbangan. Seandainya si pengemudi salah gerak, maka tak diragukan ia akan terperosok.


Apa yang akan aku lakukan—memangnya aku harus melakukan sesuatu? Ya, aku hanya harus merampungkan niatku sebelumnya. Tidak perlu berbuat apa-apa untuk pengemudi ugal-ugalan itu, sebab jelas sekali tidak ada hubungannya denganku. Namun, saat melangkah pergi aku mendengar erangan seorang wanita kesakitan.


“To-long a-aku!”


Sejurus aku hanya berdiri membisu, tidak bisa terlalu berempati. Lantas, aku pun merogoh saku dan mendapatkan ponsel keypad milikku, menekan nomor telepon panggilan darurat dan memanggilnya. Tidak apa melakukan perbuatan baik sekali-kali sebelum mati.


Tak berapa lama, seorang petugas pria terhubung dalam saluran telepon. Kuberitahu dengan nada mengancam bahwa akan ada yang mati—sebuah mobil akan terperosok ke dalam sungai jika tidak ada yang datang secepat mungkin. Mungkin karena menganggap panggilan itu sebagai ancaman, belum sampai lima menit mobil polisi pun datang menyemburkan cahaya lampu strobo merah-biru berpendar memenuhi kesunyian malam. Yah, seperti di film-film sekali.


Waktu aku sudah berada di seberang, kulihat mobil itu meluncur ke dalam sungai dan sepasang petugas polisi bermanuver panik, sebelum akhirnya bala bantuan tambahan datang. Apa pun yang terjadi, aku berbalik pergi dan tak mengetahui lanjutannya. Aku tak tahu bagaimana nasib si pengemudi ugal-ugalan itu.


Cara-cara untuk mati #11, gagal.


Terinterupsi.



Genap empat hari sejak kegagalan oleh kejadian malam itu. Aku entah kenapa tak bisa berhenti memikirkan bagaimana nasib si pengemudi—apakah ia selamat atau tidak? Ah, untuk apa juga aku memikirkannya? Di sisi lain, aku juga sudah merasa lelah hidup, bahkan untuk mati pun demikian. Apa yang mestinya kulakukan?


Kurasa aku benar-benar butuh waktu untuk beristirahat dan melupakan cara-cara untuk mati untuk sementara waktu. Ada hari-hari lain untuk mati, tapi tentu saja bukan hari ini. Karena hari ini aku akan tidur sepanjang hari dan berhenti berpikir.


Namun, selalu saja begini. Perasaan-perasaan melankolis itu selalu kembali datang merundungku pada masa-masa aku merasa sendirian. Aku selalu merasa tidak berguna, tapi aku tak menyangkal karena itu adanya. Andai saja bukan karena tubuh ini. Andai saja aku terlahir di tubuh yang berbeda, mungkin aku akan lebih berguna. Mungkin aku tidak akan pergi dari rumah. Mungkin aku tidak akan dibanding-bandingkan dengan saudaraku. Mungkin aku tidak akan jadi pengangguran karena tubuhku yang seperti ini. Atau mungkin lebih baik aku tidak ada saja sejak awal. Dengan begitu aku tidak perlu merasa seperti ini. Tidak perlu berandai-andai agar bisa menjalani kehidupan yang berbeda.


Andai saja Scythe* itu ada, mungkin aku akan meminta mereka untuk mematikanku.


Bila mereka enggan, maka aku melawan biar mereka terpaksa mematikanku.


Mungkin.



Dua minggu berlalu, aku masih hidup dan tak kunjung mati. Tidak ada yang berubah. Tak ada yang berbeda dalam hidupku—aku bangun seperti biasa dengan letih, memikirkan cara-cara untuk mati. Sekarang aku sudah meraih kegagalan untuk ke-16 kalinya.


Malam ini memutuskan keluyuran dengan naik kereta sampai pemberhentian terakhir. Pukul 18.30 aku menaiki kereta menaiki kereta A, lalu di pemberhentian berikutnya aku menaiki kereta B, lalu C, dan begitu seterusnya sampai aku tiba di pemberhentian terakhir menjelang tengah malam di sebuah kota mati.


Pukul sebelas lebih. Kereta sudah berhenti beroperasi hari ini dan mau tak mau aku menunggu besok pagi jika ingin kembali. Aku tidak tahu mau cari apa; di ujung jalan ada motel tua, tapi aku malah memutuskan tidur di bangku stasiun, berharap saat terbangun aku telah mati esok harinya karena kedinginan, atau dibunuh seorang begal, pembunuh berantai, atau diterkam binatang buas.


Ternyata, tidak ada yang terjadi.


Esok datang lagi, ya begitulah, dunia berputar, waktu berlalu, dan… aku masih hidup.


Cara-cara mati #17, gagal.


Lagi.


***


Membosankan. Benar-benar membosankan bila gagal terus-menerus. Aku sudah lama gagal menjalani hidup, dan sekarang satu-satunya keinginan terakhir, keinginan untuk mati pun juga gagal. Aku merasa putus asa dan ingin menyerah, tapi bagaimana mungkin? Ironinya, saat aku mendambakan kematian, aku malah tetap hidup. Bukankah mati adalah jawaban—fase terakhir dari keputusasaan?


Jika tidak, terus apa? Tolong beritahu aku! Aku sudah tidak tahu lagi.


Ponselku berdering, nomor tak dikenal.


Aku enggan mengangkatnya dan membiarkan berdering selama beberapa waktu. Dan sekarang aku muak karena ponselku hampir kehabisan daya oleh panggilan orang sinting tak dikenal yang telah meneleponku lebih dari 20 kali sebab kuabaikan. Sebelum ponselku mati, aku menekan tombol hijau tanpa tidak mengatakan apa-apa. Biar penelepon sinting tak dikenal itu yang mulai.


“Jembatan malam itu,” ujar sebuah suara. Suara familier seorang wanita. Aku tak ingat siapa, tapi aku ingat jembatan malam itu. Dan begitu aku terlempar dalam kilas balik malam itu selama sepersekian detik, aku jadi tahu siapa pemilik suara ini. “Kalau kau ingin tahu segalanya. Di jam yang sama.”


Ingin tahu apa?


Bip, telepon dimatikan begitu saja sebelum aku sempat bertanya.



Kadang-kadang aku sulit mempercayai ucapan seseorang, terlebih ucapan orang asing. Namun, kata-kata wanita dalam telepon itu menghipnotisku dan membuatku mati penasaran, meskipun aku sebenarnya tak kunjung mati. Aku bahkan tak tahu apa yang ingin kuketahui. Lantas apa sesungguhnya yang diketahuinya sehingga aku juga merasa begitu ingin tahu?


Wanita itu memintaku berjumpa di jembatan malam itu pada waktu yang sama—tapi kapan tepatnya? Setelah 30 menit menempuh perjalanan kereta, aku sudah menginjakkan kaki di daerah pesisir itu, melewati bar yang sama, lalu berputar-putar mencari jembatan malam itu. Aku tak ingat betul di mana letak persisnya karena aku kehilangan kesadaran sebelum sampai di sana. Tak ada cara lain, kuputuskan datang dari tempatku pergi.


Kemudian pada menit-menit berikutnya, alhasil kutemukan jembatan malam itu dengan kondisi sama. Tak ada wanita itu di sini, maka kuputuskan untuk menunggu. Waktu seakan berlalu begitu lambat, lalu kulihat jam sudah pukul 22.08. Di mana dia?


“Hai.” Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku dan membuatku tersentak kaget. Kuputar kkepalaku dan mendapati sesosok wanita berdiri di belakangku. Parasnya lumayan, rambutnya hitam sebahu. “Kau datang.”


Wanita itu tersenyum.


Aku salah tingkah tapi serta-merta mengeyahkan refleksi akan dirinya dari benakku. Entah kenapa, rasa akan ketidakpantasan menggerayangi tubuhku. Aku ingin menghilang dan kembali memikirkan cara-cara untuk mati. Lantas keheningan mengudara selama sejenak. Kunantikan ia berkata-kata, tapi wanita itu sama sekali tak mengatakan apa-apa.


“Aku tak tahu apa yang ingin kuketahui,” ungkapku, memalingkan wajah menatap sungai tenang di bawahku. Kurasakan dorongan kuat untuk melompat. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku datang. Kau ingin aku datang, dan disinilah aku.”


Ia mendekat dan menatapku dalam, seolah menegaskan bahwa aku harus menganggap serius apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Terima kasih sudah menolongku malam itu.”


Kutundukkan kepala sebab merasa tidak pantas.


“Kau pantas menerimanya.”


Apanya? Aku tidak pantas untuk apa pun.


“Aku tahu yang kau pikirkan. Aku tahu yang akan kau lakukan malam itu.”


“Aku tidak mengerti yang kau katakan.”


“Entah siapa yang menyelamatkan siapa, yang jelas, bagi kita, sejak malam itu pasti situasinya sama-sama telah berubah.”


Aku benar-benar tidak mengerti omong kosong macam apa ia coba sampaikan. Kurasa lebih baik aku lompat saja.


“Kau… kau selalu memikirkannya, kan? Soal kematian…”


Entah bagaimana ia tahu, tapi bagiku itu masih belum cukup dan terdengar seperti omong kosong.


“Aku tahu soal dirimu, hidupmu—semuanya. Aku tahu semua upaya bunuh dirimu yang gagal itu.”


Kali aku benar-benar membisu. Bagaimana—maksudku kenapa dia bisa tahu?


“Pernahkah kau merasa bahwa… hidupmu adalah gagasan orang lain?”


“Apa maksudmu?”


“Bagaimana jika seluruh hidupmu—ah, maksudku, bagaimana jika kukatakan seseorang di luar sana membuatmu begini. Akankah kau percaya padaku?”

Seseorang?” tanyaku sambil mengedarkan pandang ke langit. “Aku tidak tahu… mungkin. Yah, kadang-kadang aku merasa tak punya kendali atas hidupku.”


Wanita itu merapatkan langkah, berdiri di sampingku, lalu menatap sungai.


“Kau tahu, ketika mobilku jatuh, air masuk ke dalam mobilku begitu cepat. Hal yang pertama terpikir ialah fakta bahwa cepat atau lambat aku akan mati. Dan ternyata itu memang terjadi. Aku mati. Kau tahu bagaimana rasanya mati tenggelam?’


“Kalau kau mati kenapa ada di sini?”


“Aku tahu kau akan meragukan kisahku, tapi dengarkanlah sampai akhir. Malam itu aku benar-benar mati. Rasanya gelap, dingin, dan hening. Namun, aku sadar ada sesuatu yang janggal dalam kematianku. Aku sering mendengar cerita bahwa detik-detik saat orang mati, ia akan diserbu oleh kilasan memori masa lalu, tapi tidak denganku. Jiwaku seolah terjebak dalam keheningan setelah kematian selama beberapa detik. Lalu, samar-samar kudengar suara seperti mesin tik, tapi bukan, yang ini ketikannya terdengar lebih cepat dan praktis.


“Kemudian perlahan-lahan kegelapan di sekitarku sirna menjadi sesuatu yang kabur disusul penampakan papan berisi deretan huruf, angka, dan simbol-simbol—aku mulai menyadari itu adalah keyboard. Semakin jelas, sepasang tangan dengan jemari-jemari lihai menekan huruf-huruf bagai memainkan piano. Aku bertanya-tanya apakah ini kenangan dari masa laluku? Namun, semakin aku mengingat-ingat—entah bagaimana cara ingatan bekerja setelah kematian—aku menyadari lagi bahwa aku tidak pernah menyentuh keyboard sekali pun. Itu bukan aku. Ini bukan ingatanku.


“Di atas keyboard, sebuah monitor berisi lembaran kerja kosong mulai memenuhi halaman demi halaman. Manuskrip cerita. Kau tahu isinya tentang apa?”



Tepat pukul 23.23, wanita itu berhenti bercerita. Ia sudah memberitahuku segalanya. Ia mengalami mati suri dan memasuki sebuah dunia samar-samar di mana seorang pria pengangguran mengendalikan hidupku sesuka hati lewat tulisannya. Benar atau tidak perkataan wanita itu, hanya ada satu cara untuk membuktikannya.


“Siap?” tanyanya menoleh kepadaku.


“Ya,” jawabku memutar tubuh membelakangi air sungai.


Kugenggam erat tangan wanita asing itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Hangat.


“Aku bertaruh kalau tubuhku yang pertama kali menyentuh air,” ucapku.


Ia tersenyum. “Sekarang,” bisiknya.


Jika ada satu momen dalam hidupku yang akan kukenang, sekaranglah momennya. Dan jika ada masa di mana aku merasa benar-benar hidup, tepat pada saat inilah—pada detik-detik terakhir hidupku.


Sedetik sebelum tenggelam, hal yang terakhir kulihat bukanlah langit berbintang atau bulan yang menggantung di atasku, melainkan senyumannya. []


Di Ambang Kewarasan, 12 Mei 2024; 20:36 WIB


Nah, bagaimana? Sangat cacat logika dan tidak masuk akal, kan? Jangan dibawa serius, wkwk, cerita ini hanya omong kosong.

1 Komentar

Berkomentarlah dengan sopan; ketikanmu adalah bumerang. Jangan lupa, gunakan akun Google untuk berkomentar, jangan sampai ada Anonim di antara kita.

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama